ilustrasi

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pernah menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI di tahun 2017 dan belum mendapat pengesahan di tahun tersebut. Pada tahun 2020 yang lalu, DPR mencabut RUU PKS dari daftar Prolegnas prioritas 2020. RUU ini kini kembali masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2021 bersama dengan 32 RUU lainnya sebagai hasil kesepakatan Rapat Kerja antara Menkumham, Badan Legislasi (Baleg) DPR, dan DPD pada medio Januari 2021 yang lalu. Belakangan, satu dari 33 RUU tersebut, yakni RUU Pemilu, ditarik dari daftar Prolegnas prioritas 2021.

 

Data Komnas Perempuan

Komnas Perempuan sebagai lembaga yang fokus terhadap perlindungan hak-hak perempuan, mencatat setiap 2 (dua) jam, terdapat 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan (Tempo edisi 24/11/2018). Di tahun 2012, lembaga ini juga telah mempublikasikan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (dari 2001 hingga 2011) terdapat 35 perempuan dalam setiap hari menjadi korban kekerasan seksual. Dan di tahun 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual dengan frekuensi kekerasan yang terus meningkat, yakni di tahun 2014 terdapat 4.475 kasus yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Tindakan kekerasan ini juga meningkat di tahun 2015 dengan jumlah 6.499 kasus, dan di tahun 2016 menjadi 5.785 kasus.

 

Indonesia sebagai salah satu penandatangan Konvensi ICEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) PBB pada Juni 2007, mendapat rekomendasi untuk membuat peraturan perundang-undangan yang menghapus kekerasan berbasis gender. Dengan kondisi tindakan kekerasan seksual yang terus meningkat, membuat Indonesia (sebagai salah satu dari 185 negara yang turut menandatangani Konvensi CEDAW) wajib melaksanakan rekomendasi tersebut.

 

RUU PKS sebagai Hukum Pidana Khusus

Pada RUU PKS sebelumnya, yang diusulkan oleh Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) masih terdapat kelemahan, yakni belum mengangkat tentang perlindungan bagi korban dan tidak mengatur secara komprehensif bentuk-bentuk kekerasan seksual. Dalam usulan tersebut belum sesuai prinsip CEDAW dan belum jelas bentuk kewajiban negara untuk memberikan perlindungan. Pihak pemerintah melalui Kementerian PPA masih menggunakan konsep lama, yakni pencabulan dan perkosaan yang tidak jauh berbeda dengan konsep pencabulan dan perkosaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Harus dibuktikan dengan adanya sperma, masuknya penetrasi penis ke kemaluan perempuan.

 

Sesuai Pasal 1 angka 1 RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang,, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Defenisi kekerasan seksual yang termaktub dalam RUU ini lebih luas ruang lingkupnya ketimbang ketentuan kesusilaan, khususnya perkosaan dan pencabulan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 285.

 

Selain itu, terdapat perbedaan delik (peristiwa pidana) antara Pasal 285 KUHP, yaitu perkosaan, dengan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS. Pasal 285 KUHP merupakan delik biasa, sedangkan kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU PKS merupakan delik aduan (klachtdelict) (Pasal 12 ayat (2)) . Delik biasa artinya perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban) walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada pihak kepolisian, penyidik tertap berkewajiban untuk melanjurkan proses perkara. Sementara, delik aduan adalah delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana atau tergantung pada persetujuan dari pihak yang dirugikan (korban). Pada delik ini, korban dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila diantara pelaku dan korban telah terjadi suatu perdamaian.

 

 

Aspek Yuridis

Dari aspek yuridis, ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yakni aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. Dalam aspek substansi, walaupun terdapat penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, misalnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun berbagai kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia.

 

Dari aspek struktur, meskipun lembaga penegak hukum telah membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, namun unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas maupun perspektif penanganan korban yang memadai. Dan dari aspek kultur atau budaya hukum, masih terdapat aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Hal ini berakibat pada penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban. Dan justu ikut menyalahkan korban.

 

RUU PKS sebagai Jaminan Perlindungan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya pembaruan hukum di Indonesia untuk mengatasi berbagai persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan, yang meliputi: pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan seksual, hak korban (termasuk pemulihan), hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual (termasuk tentang pembuktian), pemantauan penghapusan kekerasan seksual, dan pemidanaan. Dan yang paling penting adalah bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa yang akan datang.

 

*) Penulis adalah Mahasiswa konversi di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana, Medan. Alumnus Departemen Ilmu Politik, FISIP USU.

 

(tulisan ini pernah dimuat di Medan Bisnis Daily www.medanbisnisdaily.com, pada tanggal 17 Maret 2021 di link https://mdn.biz.id/o/131266/ )