(Foto: Ilustrasi)

(Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Harian ANALISA, Medan, 2007)

Listrik merupakan salah satu sumber energi fisika yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Selain memiliki nilai ekonomis, listrik juga berfungsi sosial. Jika dilihat dari proses penemuannya, listrik sebagai energi lahir untuk memudahkan problem aktifitas manusia. Listrik juga telah dianggap sebagai penggerak peradaban manusia. Sehingga sangat membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Jadi, ketika sektor ini mengalami krisis, maka memiliki efek domino atas sektor lainnya.

Energi listrik sebagai material bergerak bukan hanya bersifat ilmu pengetahuan. Pengaruhnya yang telah menyentuh seluruh sendi kehidupan membuat energi ini menjadi komponen yang masuk dalam kebijakan politik. Artinya, posisi dan peran strategis ketenagalistrikan dianggap sebagai energi nasional suatu negara. Dengan demikian, sebagai energi nasional yang strategis, dalam penyelenggaraannya, juga harus hati-hati.

Akan tetapi, pengelolaan terhadap energi nasional yang strategis ini belum sepenuhnya terpenuhi. Kompleksitas yang ada dalam ketenagalistrikan menjadikan sektor ini dianggap tidak strategis bagi pembangunan nasional. Terlihat dari produktifitas Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum merata dalam pendistribusian atas kebutuhan energi listrik untuk seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat awam tahu benar , yang tanpa pemahaman yang ilmiah, bahwa masih banyak daerah yang tidak teraliri energi listrik untuk kebutuhan sehari-hari, pemakaian listrik secara ilegal (pencurian arus), pencurian kabel, manipulasi materan listrik, penunggakan pembayaran, serta tidak adanya kuota yang berbeda dari kebutuhan yang berbeda.

Jadi asumsi masyarakat terhadap PLN adalah kinerja yang buruk, koruptif, dan manajemen yang tidak profesional. Dari pihak PLN sendiri, yang menjadi alasan atas persoalan krisis energi listrik ini adalah alokasi anggaran yang kurang untuk semua kebutuhan produksi dan distribusi listrik sehingga solusi alternatifnya adalah perlunya pasokan dari perusahaan swasta.

Alasan Krisis

Krisis terjadi ketika terjadi ketimpangan (disparitas) antara kebutuhan dengan alat pemuas kebutuhan. Semakin tingginya tingkat kebutuhan untuk konsumsi listrik di satu sisi, dan ketersediaan energi listrik yang terbatas, menjadi penyebab pokok dari krisis. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan siapa saja subjek dominan dari konsumen listrik. Naiknya kebutuhan energi listrik bagi kelompok ekonomi menengah ke atas bisa dikatakan menjadi penyebab krisis. Sementara, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang paling merasakan dampak atas krisis listrik. Kebijakan pemadaman listrik oleh PLN yang memakan waktu 4 jam sebanyak 3 kali per hari secara bergilir sangat merugikan bagi kelompok ekonomi UMKM yang seluruh aktifitas produksinya bergantung pada PLN.

Krisis ini direspon dengan unjuk rasa bagi elemen mahasiswa, pekerja, miskin kota, pemuda, dan lainya dengan isu dan tuntutan yang berbeda. Seperti aksi yang dilakukan oleh massa-aksi Front Rakyat Sumatera Utara (Rabu, 18/07/07) yang menuntut agar pemerintah menasionalisasi perusahaan swasta, seperti PT Inalum, yang juga pemasok energi listrik bagi PLN. (Analisa, 19/07/07) Namun, bila unjuk rasa tersebut hanya berisi tuntutan untuk pemenuhan energi listrik semata tanpa ada konsepsi nasional yang melihat adanya pengaruh kebijakan neoliberal, maka seluruh aksi-aksi dan tuntutan tersebut hanya akan mendorong percepatan program neoliberal di Indonesia. Hal ini terlihat dari perjanjian dan kerjasama yang digalang oleh pihak pemerintah untuk sektor ketenagalistrikan hanya mengharapkan peran pihak swasta. Justru disini pemerintah menciptakan ketergantungan pada pihak swasta tanpa upaya pemandirian bangsa sendiri.

Neoliberalisasi Kebijakan

Jadi, problem ketenagalistrikan muncul kepermukaan sejak dikeluarkannya kebijakan resmi pada bulan Agustus 1998. Namun, mendapat tentangan dari masyarakat sehingga pembahasannya terhambat. Perjalanan perubahan kebijakan ketenagalistrikan terjadi seiring perubahan rejim otoriter-birokratik-rente (Orde Baru) ke rejim reformasi. Di masa Orde Baru, terdapat UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang dianggap populis. UU ini masih mengatur jaminan terhadap kepentingan umum yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan:”Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.”

Namun, kebijakan populis ini, melalui agenda neoliberal yang dimotori oleh lembaga keuangan internasional, yakni Asian Development Bank (ADB), mendesak pemerintah RI untuk menderegulasi UU No. 15 Tahun 1985 dan membuat UU Ketenagalistrikan yang baru. Dan pemerintah RI membuat keterikatan perjanjian dengan pihak ADB pada tanggal 23 Maret 1999. (Annual Report PBHI/2004)

Alasan pemerintah untuk mengikutkan peran swasta dalam penyediaan energi listrik karena keikutsertaan pihak swasta dalam usaha penyediaan energi listrik untuk kepentingan umum telah diusahakan pemerintah melalui pemberlakuan PP No. 10 Tahun 1989 dan Keppres No. 37 Tahun 1992, meskipun kedua kebijakan tersebut bertentangan dengan UU No. 15 Tahun 1985.

Selama kurang lebih tiga tahun (dari 1999 hingga 2002) pemerintah memenuhi janjinya untuk memberikan jaminan atas liberalisasi ketenagalistrikan melalui UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Perubahan kebijakan ini bukan hanya perubahan yang bersifat teknis-prosedural dalam penyediaan tenaga listrik, tapi juga sarat dengan kepentingan ideologis kapitalisme global. Tampak jelas dari penafsiran yang berbeda konsepsi dari pemaknaan atas “kepentingan umum”. Dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud “kepentingan umum” disebutkan:”Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.”

Dengan demikian, deregulasi kebijakan sektor ketenagalistrikan memang diarahkan untuk kepentingan kapital. Sehingga, logika penyediaan tenaga listrik diselenggarakan bagi yang memiliki kapital besar. Pada akhirnya, yang menjadi korban atas kebijakan neoliberal tersebut adalah masyarakat. Penegasan tersebut ada dalam Pasal 15 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2002, yakni tidak mempertimbangkan daya beli atau kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan tingkat keekonomian harga jual tenaga listrik yang hendak dicapai adalah untuk menjamin keuntungan pelaku usaha.

UU tersebut bersifat sektoral dan sepihak tanpa memperhatikan kepentingan nasional, yakni untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dan kelompok ornop melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal dengan cara judicial review (peninjauan kembali) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi yang membuahkan hasil positif dengan dibatalkannya UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan memberlakukan kembali UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.

Pelanggaran HAM

Negara, yang dalam hal ini adalah pemerintah, sudah seharusnya memajukan, memenuhi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia. Ketidakmampuan pemerintah dalam hal penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum merupakan pelanggaran HAM. Demikian juga dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Disini pemerintah telah melakukan kekerasan terhadap warga negara melalui judicial violence (kekerasan melalui kebijakan). Namun, penyebab dari judicial violence ini adalah capital violence (kekerasan kapital) yang berasal dari hutang luar negeri dan penanaman modal asing.

Dari situasi krisis tenaga listrik saat ini, pemerintah sepertinya akan kembali menggunakan resep yang pernah dicoba sebelumnya, yakni dengan membuat RUU Ketenagalistrikan yang baru.(Andalas, 20/07/07) Dengan melihat pikiran dan solusi dari pihak PLN dan pemerintah sendiri, yakni dengan mengupayakan penyediaan tenaga listrik dari pihak asing lewat perjanjian dan kerjasama, maka model kebijakan yang diterapkan menjadi alat legitimasi program neoliberal.

Untuk itu, sebagai perjuangan rakyat untuk mendapatkan hak atas pelayanan publik yang layak dari pemerintah, maka seluruh elemen bangsa harus bersikap kritis-konstruktif seluruh produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat cita-cita proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945. Kemandirian bangsa terwujud dari kemampuan suatu bangsa untuk berdikari di bidang ekonomi, berkedaulatan di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya.